Selasa, 05 Januari 2016

Catatan yang Tercecer Chairuddin,MDK
Nasi Punjung, Rekayasa Politik ‘Ala’ Cawagub dan PPK

      Perhelatan akbar Demokrasi Lima Tahunan yang disebut Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak di Provinsi Bengkulu, meliputi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Utara, Mukomuko, Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur, usai sudah. Meski masih harus menanti dengan rasa was-was Jadi atau Tidak dilantik, karena bukan tidak mungkin dalam perjalanannya akan ada ‘Gempa’ pilitik yang mendera, diantaranya adalah kemungkinan terjadinya sengketa Pilkada yang tentu saja harus disesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), untuk sementara memang sudah ada Delapan pasangan Bupati dan Wakil Bupati dan Satupasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
     Dari berbagai fenomena dan riak-riak yang terjadi selama berlansung Pilkada serentak di Provinai Bengkulu, mulai aksi ‘Borong-Memborong’ Partai Politik pengusung, Pendaftaran pasangan Bakal Calon, penetapan pasangan Calon, pengudnian Nomor Urut, Kampanye, Masa Tenang, dan Pencoblosan pada 9 Desember 2015, ada Satu Catatan Tercecer yang oleh sementara ‘Orang’ disebut dengan Nasi Punjung, Rekayasa Politik ‘Ala’ Cawagub dan PKK, di Kecamatan Singaran Pati, Kota Bengkulu. Peristiwa itu, oleh sebagian orang boleh saja dianggap sepele, karena hanya terjadi di salah Satu Kecamatan dari 127 Kecamatan yang ada di Provinsi Bengkulu. Tetapi jangan lupa, dalam peristiwa tersebut selain diduga terjadi semacam ‘Rekayasa Politik’ dengan melibatkan Dr. Rohidin Mesyah, Calon Wakil Gubernur Bengkulu Nomor Urut Satu,pasangan Drs. H. Ridwan Mukti sebagai Calon Gubernur, juga sudah ‘Memakan’ Korban seorang Penyelenggara Pemilu (Pilkada), Ahmad Ahyan, anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) Singaran Pati, Kota Bengkulu, Dipecat oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
      Dari cerita yang terkuak di berbagai media massa, pada 25 Agustus 2015 sekitar pukul 23.00 wib, di salah satu Penutupan acara dalam rangka Memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI 17 Agustus 205, Panwascam (Panitia Pengawas Kecamatan) Singaran Pati, Kota Bengkulu, menemukan adanya dugaan Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh seorang Penyelenggara Pemilu (Pilkada), Ahmad Ahyan. Dalam kapasitasnya yang melekat sebagai anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) Singaran Pati, Kota Bengkulu, Amad Ahyan diduga sengaja mengundang Calon Wakil Gubernur Bengkulu nomor urut Satu, Dr. Rohidin Mesyah, yang di Pilkada serentak 9 Desember 2015 berpasangan dengan Drs. Ridwan Mukti, selaku Calon Gubernur, ke acara tersebut.
       Bukan hanya itu,  di acara yang sama Ahmad Ahyan juga diketahui menerima Uang sebesar Rp.5.000.000,. langsung dari Calon Wakil Gubernur Bengkulu, Rohidin Mesyah, yang disebutnya (seolah-olah) hasil Lelang Nasi Punjung yang dilelang oleh masyarakat setempat. Melihat seorang penyelenggara Pemilu (Pilkada) yang perbuatannya jelas-jelas akan ‘Mencidrai’ keabsyahan ‘Pesta’ Demokrasi rakyat, apalagi terkesan dilakukan secara bersama-sama dengan seorang Calon yang menjadi peserta di Pilkada (Cawagub Rohidin Mesyah), oleh Panwascam Singaran Pati, Kota Bengkulu, faka tersebut langsung dilaporkan ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Provinsi Bengkulu, melalui Surat Nomor : 136/I-P/L-DKPP/2015, yang ditandatangani oleh Ketua Panwascam Singaran Pati, Kota Bengkulu, Nismawati. Oleh Bawaslu pengaduan itu langsung diterusakan ke DKPP di Jakarta.
      Sebagai tindak lanjut, dengan mengutus salah seorang anggota DKPP, Saut Hamonangan Sirait, dengan didamping tim daerah yang terdiri atas unsur Pemerintah, Akademisi, KPU dan Bawaslu Provinsi Bengkulu, pada 27 Oktober 2015 kasus dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota PPK Singaran Pati, Kota Bengkulu, Ahmad Ahyan, disidangkan di Kantor Bawaslu Provinsi Bengkulu. Hebatnya, meski dalam Sidang  Ahmad Ahyan menyatakan tidak dengan sengaja melakuan pelanggaran Kode Etik, namun saat menyampaikan Kata Sambutan di acara penutupan memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI 17 Agustus 2015 tersebut, dengan lantang dia mengaku mendukung pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bengkulu Nomor Urut Satu, Ridwan Mukti – Rohidin Mesyah, sebagaiman terdengan dengan jelas di dalam rekaman yang memang diperdengarkan di Persidangan oleh Saksi.
      Tidak hanya sampai disitu, ‘Sang’ penyelenggara Pemilu (Pilkada) yang satu ini, juga saat menyampaikan Kata Sambutan, terkesan dengan sadar  berusaha Mempengaruhi dan Mengajak masyarakat (yang hadir di acara) untuk memilih pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bengkulu yang dia dukung (Ridwan Mukti – Rohidin Mesyah. Sementara terkait dia memberikan Uang sebesar Rp.1.000.000,- yang juga disebutnya untuk lelang Nasi Punjung, bersamaan dengan Cagub Rohidin Mesyah menyerahkan uang sebesar Rp.5.000.000,- menurutnya, bukan Rp.1.000.000,- tetapi hanya Rp.900.000.- Sedangkan tentang bagaimana ceritanya sehingga dia bisa memberikan Kata Sambutan di acara penutupan peringatan 17 Agustus, Ahmad Ahyan berdalih, bahwa itu atas permintaan Ketua Panitia, Andi Rahman. “ Saya cuma diminta (menyampaikan Kata Sambutan),” ujarnya, di dalam Sidang..
        Untuk sementara, dalam kasus dugaan pelanggaran Kode Etik oleh penyelenggara Pemilu (Pilkada) tersebut, nasib anggota PPK Singaran Pati, Kota Bengkulu, Ahmad Ahyan, memang sudah jelas. Melalui sidang dengan agenda pembacaan Putusan pada 17 November 2015, dengan Ketua Majelis Jimly Asshidiqie dan anggota Majelis Nur Hidayat Sardini, Valina Sinka Subekti, Saut Hamonangan Sirait, DKPP sudah menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap (Pemecatan) terhadap anggota PPK Singaran Pati, Kota Bengkulu, Ahmad Ahyan. Sanksi itu ditetapkan di Jakarta pada 17 November 2015, melalui Maklumat DKPP nomor 45/DKPP-PKE-IV/2015. Hanya saja, dengan tindakan yang oleh banyak pihak digolongkan sebagai ‘Penghianatan’ kepada pemerintah yang telah memberinya kepercayaan sebagai penyelenggara Pemilu (Pilkada), yang seharusnya berlaku Jujur, Adil dan Tidak memihak kepada siapapun terkecuali demi terwujudnya ‘Pesta’ demokrasi yang bersih, tentu saja tidaklah sebanding. Apalagi sebagaimana terkuak di persidangan DKPP, dalam kapasitasnya yang melekat sebagai penyelenggara Pemilu (Pilkada), dalam suatu Acara yang sangat mustahil tidak direncanakan, Ahmad Ahyan disebut-sebut ada menerima Uang langsung dari pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bengkulu nomor urut Satu, Drs. Ridwan Mukti-Rohidin Mesyah, sebesar Rp. 5.000.000, terlepas Uang itu dikatakan sebagai hasil Lelang Nasi Punjung atau apapun namanya, atau terlepas Uang itu untuk dirinya sendiri atau untuk diberikan/disampaikan kepada orang lain (pihak lain).
       Kita tidak tahu persis, sebagai penyelenggara Pemilu (Pilkada) meski hanya berada di level tingkat Kecamatan, apakah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) juga termasuk sebagai penyelenggara Negara. Namun yang kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah merupakan Lembaga Negara yang menyelengarakan Pemilihan Umum di Indonesia.  Jika, ya, sebagai penyelengara Negara di level manapun dia dan siapapun orangnya, jika ada menerima atau memberi Sesuatu atau Uang yang terkait dengan pekerjaannya/jabatannya, tentunya saja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dimana Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Sedangkan Ayat (2) menyebutkan, Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
          Rasanya adalah sangat mustahil, bahkan ‘Sebodoh’ apapun seseorang rasanya takkan  mungkin percaya, jika pertemuan Calon Wakil Gubernur Bengkulu, Rohidin Mesyah, dengan anggota PKK Singaran Pati, Kota Bengkulu, Ahmad Ahyan, di acara penutupan memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI tersebut adalah hanya kebetulan. Oleh karena itu yang kemudian menjadi pertanyaan banyak orang adalah, setelah terbukti dalam persidangan tentunya, kenapa hanya Ahmad Ahyan yang dipecat sebagai anggota PPK. Sementara Rohidin Mesyah, yang notabene Calon Gubernur peserta Pilkada yang diselenggarakan oleh Ahmad Ahyan dalam kapasitasnya sebagai anggota PPK, hingga saat ini justru sama sekali tak ‘Disentuh’ oleh Bawaslu. Padahal sesuai ketentuan Undang-Undang maupun Peraturan yang berlaku, antara ‘Penyelengara’Pilkada dengan ‘Peserta’ Pilkada, adalah merupakan ‘Satu Kesatuan’ yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Dengan kata lain, jika ada ‘Penyelenggara’ Pilkada dengan ‘Perserta’ Pilkada yang secara bersama-sama dengan sengaja melakukan ‘Persekongkolan’ melakukan pelanggaran Pilkada, kedua belah pihak tentunya Wajib dan Wajib ‘Diproses’ dan dikenakan‘Sanksi’ . Apalagi sebagaimana diamanatkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, bahewa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’, (baik itu anggota PPK Ahmad Ahyan maupun Calon Wakil Gubernur Bengkulu Rohidin Masyah).>> Penulis adalah Pemimpin Redaksi Suara Hukum <<