Oleh Chairuddin, Mdk
DINAMIKA
Politik di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah-daerah, memang tidak
pernah berujung. Masih jelas dalam ingatan kita hiruk-pikuk Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014 yang mengantarkan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK)
sebagai Presiden dan Wakil Presiden, walaupun harus melalui perjalanan panjang
dan melelahkan proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Disusul kemudian
kisruh perebutan kekuasaan yang diwarnai teriakan dan saling lempar kursi di
Parlemen antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP), pengusung pasangan
Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah di Pilpres 2014,
dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Capres-Cawapres Joko
Widodo – Jusuf Kalla yang keluar sebagai pemenang pada Pilpres 2014.
Yang paling heroik adalah fenomena
peristiwa politik saat 226 orang anggota DPR ‘Mengambil Paksa’ hak demokrasi
200 juta lebih rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin di daerah baik itu
Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam voting pengesahan Rencana Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) melalui DPRD di rapat Paripurna DPR, 226
anggota DPR dari fraksi-fraksi yang tergabung dalam KMP itu berhasil
mengalahkan 135 anggota DPR dari fraksi-fraksi di di KIH yang tetap menghendaki
Pilkada langsung oleh rakyat. Menariknya, dalam voting tersebut fraksi Partai
Demokrat yang Ketua Umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dua kali jadi
Presiden melalui pemilihan langsung oleh rakyat justru walk out, dan hanya 6 orang anggotanya yang menyumbang suara untuk
Pilkada langsung. Hanya saja, beberapa hari menjelang berakhir masa jabatan
Presidennya yang kedua, Ketua Umum Partai Demokrat, SBY, melakukan manuver
poilitik dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada langsung oleh rakyat. Dan syukur
Almahdulillah, Perppu produk SBY tersebut saat ini sudah disahkan menjadi
Undang-Undang melalui rapat Paripurna DPR.
Sebelumnya, polemik opsi
Pilkada langsung dan Pilkada diserahkan ke DPRD menjadi perbincangan hangat
yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat. Pro dan kontra terhadap kedua
opsi tersebut memunculkan opini yang berbeda-beda. Bagi yang pro Pilkada
langsung menganggap, bahwa Pilkada diserahkan ke DPRD untuk menentukan Kepala
Daerah sama saja dengan mencederai Reformasi dan Demokrasi di Indonesia yang
susah payah dibangun. Sementara bagi
yang pro dengan Pilkada lewat DPRD berpendapat, justru akan menghemat
anggaran dibanding dengan Pilkada langsung. Sekedar mengingatkan, bangsa Indonesia
sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD pada era Orde Baru. Pasca rezim
Orba, bangsa ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita mulianya adalah
pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi ‘Iidaman’, dan salah satu wujud
demokrasi adalah ditandai dengan Pilkada hingga Pilpres secara langsung.
Dan memang, dalam perjalanan dan realita
yang terjadi untuk menjadi Kepala Daerah ternyata ada semacam transaksi
terselubung. Rakyat diiming-imingi berbagai janji yang meninabobokkan, bahkan
hingga terjadi ‘Jual Beli’ suara. Sampai-sampai ada istilah ‘Wani Piro?’
(berani berapa ?). Dalam konteks itu, tentunya adalah tidak adil jika harus
menyalahkan rakyat, apalagi sampai diindikasikan bahwa Pilkada langsung mahal.
Kita tentunya harus melihat secara jernih. Sebab faktanya di lapangan, transaksi
‘Wani Piro’ bukan bermula dari rakyat yang mau ‘Menjual’ suaranya, tetapi
akibat dari persaingan tidak sehat antar para kubu Calon yang justru
meninggikan harga ‘Beli’ suara rakyat asalkan mau memilih ‘Jagonya’.
Dengan kata lain, bukan rakyat yang
memulai menentukan harga ‘Jual’ suaranya sekian, baik itu di Pileg maupun di
Pilkada, tetapi justru kubu para Calon dan atau para Calon yang berlomba-lomba
menaikkan harga ‘Beli’ suara rakyat. Dan kebiasaan tersebut terus berlanjut
dari Pileg ke Pileg dan dari Pilkada ke Pilkada, sehingga akhirnya menjadi
semacam budaya yang kemudian memunculkan istilah ‘Wani Piro’, suatu istilah
yang sebenarnya sangat menyakitkan hati rakyat. Padahal sudah bukan menjadi
rahasia umum, jika kita selalu mendengar semacam pengakuan dari para calon
apakah itu Caleg atau Calon Kepala Daerah (Cakada) yang secara terbuka
mengatakan di berbagai media massa, bahwa untuk maju ke gelanggang pemilihan
paling tidak harus memiliki dana dalam jumlah besar termasuk di dalamnya untuk
biaya mendapatkan ‘Perahu’ pengusung. Di lain pihak, hingga hari ini kita semua
termasuk para Calon tentunya belum ada dan tidak akan pernah ada yang mendengar
pengakuan rakyat baik secara individu (perorangan) atau secara bersama-sama
(kelompok/masal) yang menyampaikan pernyataan, bahwa untuk datang ke bilik
Tempat Pemilihan Suara (TPS) pada saat pemilihan nanti baik Pileg maupun
Pilkada mereka harus mendapat dana ‘Sekian’.
Dan untuk datang ke TPS, rakyat tidak
dituntut harus menjadi anggota Partai Politik termasuk mengeluarkan dana untuk
membeli berbagai atribut seperti Bendera, Kaos, Sepanduk, apalagi Baliho, saat
Pileg. Dan untuk datang ke TPS, rakyat tidak dituntut harus menggunakan
‘Perahu’ pengusung dengan berbagai atributnya pada saat Pilkada. Sesuai dengan
Undang-Undang Pemilu, tanpa menjadi anggota Partai Politik rakyat sah menjadi
pemilih di Pileg. Tanpa menggunakan ‘Perahu’ pengusung, rakyat juga tetap sah
menjadi pemilih di Pilkada. Dan tanpa mengeluarkan dana satu senpun, bahkan
tanpa di bayar satu senpun, rakyat tetap sah menjadi pemilih baik di Pileg
maupun di Pilkada. Maknanya, rakyat
tidak pernah meminta suaranya dibayar. Yang ada adalah, rakyat diiming-imingi
suaranya akan dibayar sekian bila memilih seseorang. Jadi sekali lagi, istilah
‘Wani Piro’ betul-betul sangat menyakitkan hati rakyat. Sebab kalau tokh seusai
atau sebelum menggunakan hak pilihnya, ada rakyat yang diberi semacam uang
pengganti ongkos, faktanya tidak lebih dari sekitar Rp.50 ribu atau Rp.100 ribu
per-orang. Dan jika dibandingkan dengan kebutuhannya si ’Rakyat’ hari itu,
setelah dikurangi beli minyak motor dan sekedar jajan ‘Pecal’ di TPS, hanya
berapa rupiah yang bisa dimanfaatkan oleh sang ‘Rakyat’ membeli kebutuhan
pokonya, hari itu. Dilain pihak, pada hari pemilihan jelas mereka sudah
meninggalkan kewajibannya mencari nafkah buat anak dan istri.(****) “Penulis
adalah Pemimpin Redaksi HaLILINTaR News.com”