Senin, 11 Mei 2015

Pilkada Mahal, Jangan ‘Kambing Hitamkan’ Rakyat


                                                             Oleh Chairuddin, Mdk

      DINAMIKA Politik di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah-daerah, memang tidak pernah berujung. Masih jelas dalam ingatan kita hiruk-pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang mengantarkan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden, walaupun harus melalui perjalanan panjang dan melelahkan proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Disusul kemudian kisruh perebutan kekuasaan yang diwarnai teriakan dan saling lempar kursi di Parlemen antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP), pengusung pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah di Pilpres 2014, dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Capres-Cawapres Joko Widodo – Jusuf Kalla yang keluar sebagai pemenang pada Pilpres 2014.
       Yang paling heroik adalah fenomena peristiwa politik saat 226 orang anggota DPR ‘Mengambil Paksa’ hak demokrasi 200 juta lebih rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin di daerah baik itu Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam voting pengesahan Rencana Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) melalui DPRD di rapat Paripurna DPR, 226 anggota DPR dari fraksi-fraksi yang tergabung dalam KMP itu berhasil mengalahkan 135 anggota DPR dari fraksi-fraksi di di KIH yang tetap menghendaki Pilkada langsung oleh rakyat. Menariknya, dalam voting tersebut fraksi Partai Demokrat yang Ketua Umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dua kali jadi Presiden melalui pemilihan langsung oleh rakyat justru walk out, dan hanya 6 orang anggotanya yang menyumbang suara untuk Pilkada langsung. Hanya saja, beberapa hari menjelang berakhir masa jabatan Presidennya yang kedua, Ketua Umum Partai Demokrat, SBY, melakukan manuver poilitik dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada langsung oleh rakyat. Dan syukur Almahdulillah, Perppu produk SBY tersebut saat ini sudah disahkan menjadi Undang-Undang melalui rapat Paripurna DPR.
    Sebelumnya, polemik opsi Pilkada langsung dan Pilkada diserahkan ke DPRD menjadi perbincangan hangat yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat. Pro dan kontra terhadap kedua opsi tersebut memunculkan opini yang berbeda-beda. Bagi yang pro Pilkada langsung menganggap, bahwa Pilkada diserahkan ke DPRD untuk menentukan Kepala Daerah sama saja dengan mencederai Reformasi dan Demokrasi di Indonesia yang susah payah dibangun. Sementara bagi  yang pro dengan Pilkada lewat DPRD berpendapat, justru akan menghemat anggaran dibanding dengan Pilkada langsung. Sekedar mengingatkan, bangsa Indonesia sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD pada era Orde Baru. Pasca rezim Orba, bangsa ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita mulianya adalah pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi ‘Iidaman’, dan salah satu wujud demokrasi adalah ditandai dengan Pilkada hingga Pilpres secara langsung.
     Dan memang, dalam perjalanan dan realita yang terjadi untuk menjadi Kepala Daerah ternyata ada semacam transaksi terselubung. Rakyat diiming-imingi berbagai janji yang meninabobokkan, bahkan hingga terjadi ‘Jual Beli’ suara. Sampai-sampai ada istilah ‘Wani Piro?’ (berani berapa ?). Dalam konteks itu, tentunya adalah tidak adil jika harus menyalahkan rakyat, apalagi sampai diindikasikan bahwa Pilkada langsung mahal. Kita tentunya harus melihat secara jernih. Sebab faktanya di lapangan, transaksi ‘Wani Piro’ bukan bermula dari rakyat yang mau ‘Menjual’ suaranya, tetapi akibat dari persaingan tidak sehat antar para kubu Calon yang justru meninggikan harga ‘Beli’ suara rakyat asalkan mau memilih ‘Jagonya’.
      Dengan kata lain, bukan rakyat yang memulai menentukan harga ‘Jual’ suaranya sekian, baik itu di Pileg maupun di Pilkada, tetapi justru kubu para Calon dan atau para Calon yang berlomba-lomba menaikkan harga ‘Beli’ suara rakyat. Dan kebiasaan tersebut terus berlanjut dari Pileg ke Pileg dan dari Pilkada ke Pilkada, sehingga akhirnya menjadi semacam budaya yang kemudian memunculkan istilah ‘Wani Piro’, suatu istilah yang sebenarnya sangat menyakitkan hati rakyat. Padahal sudah bukan menjadi rahasia umum, jika kita selalu mendengar semacam pengakuan dari para calon apakah itu Caleg atau Calon Kepala Daerah (Cakada) yang secara terbuka mengatakan di berbagai media massa, bahwa untuk maju ke gelanggang pemilihan paling tidak harus memiliki dana dalam jumlah besar termasuk di dalamnya untuk biaya mendapatkan ‘Perahu’ pengusung. Di lain pihak, hingga hari ini kita semua termasuk para Calon tentunya belum ada dan tidak akan pernah ada yang mendengar pengakuan rakyat baik secara individu (perorangan) atau secara bersama-sama (kelompok/masal) yang menyampaikan pernyataan, bahwa untuk datang ke bilik Tempat Pemilihan Suara (TPS) pada saat pemilihan nanti baik Pileg maupun Pilkada mereka harus mendapat dana ‘Sekian’.
      Dan untuk datang ke TPS, rakyat tidak dituntut harus menjadi anggota Partai Politik termasuk mengeluarkan dana untuk membeli berbagai atribut seperti Bendera, Kaos, Sepanduk, apalagi Baliho, saat Pileg. Dan untuk datang ke TPS, rakyat tidak dituntut harus menggunakan ‘Perahu’ pengusung dengan berbagai atributnya pada saat Pilkada. Sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, tanpa menjadi anggota Partai Politik rakyat sah menjadi pemilih di Pileg. Tanpa menggunakan ‘Perahu’ pengusung, rakyat juga tetap sah menjadi pemilih di Pilkada. Dan tanpa mengeluarkan dana satu senpun, bahkan tanpa di bayar satu senpun, rakyat tetap sah menjadi pemilih baik di Pileg maupun di Pilkada.  Maknanya, rakyat tidak pernah meminta suaranya dibayar. Yang ada adalah, rakyat diiming-imingi suaranya akan dibayar sekian bila memilih seseorang. Jadi sekali lagi, istilah ‘Wani Piro’ betul-betul sangat menyakitkan hati rakyat. Sebab kalau tokh seusai atau sebelum menggunakan hak pilihnya, ada rakyat yang diberi semacam uang pengganti ongkos, faktanya tidak lebih dari sekitar Rp.50 ribu atau Rp.100 ribu per-orang. Dan jika dibandingkan dengan kebutuhannya si ’Rakyat’ hari itu, setelah dikurangi beli minyak motor dan sekedar jajan ‘Pecal’ di TPS, hanya berapa rupiah yang bisa dimanfaatkan oleh sang ‘Rakyat’ membeli kebutuhan pokonya, hari itu. Dilain pihak, pada hari pemilihan jelas mereka sudah meninggalkan kewajibannya mencari nafkah buat anak dan istri.(****) “Penulis adalah Pemimpin Redaksi HaLILINTaR News.com”  




Sabtu, 02 Mei 2015

‘Jalan Jepang’ yang Malang, Nasibmu Kini….

HaLILINTaR News.com

SETELAH sebelumnya dijajah Inggris, tidak kurang dari sekitar 350 tahun Indonesia kembali dijajah oleh bangsa dari negeri ‘Kincir Angin’, Belanda. Setelah itu, bangsa ini pernah juga dijajah olah bangsa dari negara ‘MataHari Terbit’, Jepang.  Orang-orang tua kita menyebutnya dengan’Dai Nipon’. Walau hanya dijajah sekitar 3,5 tahun, atau biasa disebut juga hanya ‘Seumur Jagung’, menurut kisah, saat dijajah Jepang penderitaan yang dirasakan oleh bangsa ini terasa jauh lebih pedih dan sengsara.
      Dibalik itu semua, di Kecamatan Lubuk Keliat, atau lebih tepatnya di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, selain ada buah-buahan yang disebut dengan ‘Nangka Belanda’, juga ada sebuah ruas jalan desa yang disebut dengan ‘Jalan Dai Nipon’.  Menurut cerita para tetua desa, jalan tersebut dibuat pada zaman Jepang menjajah Indonesia lebih dari setengah abad yang lalu.  Dengan memanfaatkan rakyat setempat, ‘Jalan Dai Nipon’  dibuat oleh Jepang dengan cara ‘Kerja Paksa’, atau biasa juga disebut dengan ‘Kerja Rodi’. Tanpa diberi upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi danpa diberi upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi ketika itu dipaksa oleh bangsa Jepang untuk membuat ‘Jalan Dai Nipon’ yang membentang cukup panjang di pertengahan antara Desa Betung, Desa Ketiau, Desa Kasih Raja, Desa Embacang, dan Desa Lubuk Keliat, dengan lebar sekitar 8 meter.
     Menurut cerita, ‘Jalan Dai Nipon’ dibuat untuk mempermudah aktivitas penjajah Jepang, baik itu untuk membawa Suplai Senjata, Area Latihan Perang, Parade Militer, Patrol, dan lain sebagainya. Pada saat itu, tidak sedikit kaum pribumi yang direkrut oleh Jepang untuk dilatih ‘Perang’, dengan semboyan ‘Jepang Cahaya Asia’. Dan sekarang, setelah bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, setelah sekian lama Indonesia Meredeka dan terlepas dari cengkaraman penjajah, terakhir dari bangsa Jepang, warga Ogan Komering Ilir/Ogan Ilir pada umumnya, khusus warga di Kecamatan Lubuk Keliat terutama mereka para generasi tua yang tersisa, masih menyebut jalan itu dengan sebutan ‘Jalan Dai Nipon/Jalan Jepang’.
      Sebagaimana keberadaannya, ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ hingga sekarang masih menjadi akses sarana transportasi masyarakat setempat, terutama yang memiliki lahan kebun atau ladang yang berada di sisi kiri-kanan jalan, termasuk warga masyarakat desa sekitar yang berdekatan dengan jalan tersebut. Selain berjalan kaki bagi warga yang akan ke kebun atau ke ladang, tidak sedikit warga yang melintas di ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang menggunakan sepeda motor, bahkan sesekali terutama pada musim panas ada yang menggunakan mobil truk khususnya mereka yang akan mengeluarkan hasil perkebunan atau pertaniannya. Hanya sayangnya, lebar jalan tersebut saat ini selain semakin hari semakin mengecil, di sisi kiri-kanan jalan juga sudah dipenuhi dengan beraneka ragam pepohanan baik yang tumbuh liar maupun yang sengaja ditanam oleh warga dengan ala an ‘Memanfaatkan’ lahan.
     Beberapa tahun lalu, pernah perangkat Desa, Kecamatan dan BPD (Badan Perwakilan Desa) mengadakan rembug desa. dengan berdialog dan bermusyawarah prihal nasib ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepan’ itu, termasuk berkoordinasi dengan persusahaan yang lokasi usahanya berdekatan, dalam hal ini adalah PTPN VII Nusantara Unit Usaha Cinta Manis. Alhasil, dari ide, gagasan, kritik dan saran yang berkembang di dalam rembug desa, pada sekitar tahun 2008 ditindaklanjuti dengan melakukan renovasi dan rehab terhadap ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ oleh aparat pemerintahan dengan mendapat dukungan dari PTPN VII Cita Mani yang ketika itu bersedia membantu Alat Berat termasuk Operator dan penyediaan Bahan Bakar. Dalam rembug desa juga disepakati bersama tentang pergantian nama jalan, dari ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ diganti dengan nama ‘Jalan Padat Karya’.
     Namun mirisnya, pada saat pelaksanaan ketika itu  masih ada warga atau Aparat Desa yang kurang Merespon, terkesan tidak Antusias, tidak mau Berpartisipasi, bahkan ada diantaranya yang pesimis dan menentang atau mencemooh dengan kata-kata yang menyakitkan dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Ironisnya lagi, ada juga yang ‘Mengancam’ akan ‘Menuntut’ apabila dalam merehab ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang kemudian diubah menjadi ‘Jalan Padat Karya’ ada (alat berat) yang mengenai atau menyerempet Tanam Tumbuh mereka. Hanya saja Alhamdulillah, dengan berbagai kendala yang dihadapi ketika itu, penggelederan dan pembuatan siring pada sisi kiri-kanan jalan dilakukan selebar 4 meter, dengan panjang sekitar dua kilometer.

     Setelah itu, ‘Jalan Padat Karya’ tidak pernah lagi tersentuh pembangunan. ‘Jalan Padat Karya’ tak pernah digubris dan dibiarkan amburadul. Akibatnya, kendatipun sudah berganti nama dengan nama ‘Jalan Padat Karya’ namun keadaanya tetap seperti keadaan ketika masih bernama ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’. Terakhir, pada sekitar tahun 2013, pernah ada kucuran dana PNPM yang direalisasikan sebatas untuk pembuatan/pemasangan Batu Bata siring di sisi kiri-kanan jalan sepanjang 100 meter. Dan sekarang, kendatipun bisa dikatakan menjadi semacam kebutuhan mendasar sebagai akses transportasi vital bagi warga setempat, jalan yang berganti nama menjadi ‘Jalan Padat Karya’ itu kondisinya masih seperti dulu, ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang  Malang, Nasibmu Kini…..(Herly Mustofa).