Sabtu, 02 Mei 2015

‘Jalan Jepang’ yang Malang, Nasibmu Kini….

HaLILINTaR News.com

SETELAH sebelumnya dijajah Inggris, tidak kurang dari sekitar 350 tahun Indonesia kembali dijajah oleh bangsa dari negeri ‘Kincir Angin’, Belanda. Setelah itu, bangsa ini pernah juga dijajah olah bangsa dari negara ‘MataHari Terbit’, Jepang.  Orang-orang tua kita menyebutnya dengan’Dai Nipon’. Walau hanya dijajah sekitar 3,5 tahun, atau biasa disebut juga hanya ‘Seumur Jagung’, menurut kisah, saat dijajah Jepang penderitaan yang dirasakan oleh bangsa ini terasa jauh lebih pedih dan sengsara.
      Dibalik itu semua, di Kecamatan Lubuk Keliat, atau lebih tepatnya di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, selain ada buah-buahan yang disebut dengan ‘Nangka Belanda’, juga ada sebuah ruas jalan desa yang disebut dengan ‘Jalan Dai Nipon’.  Menurut cerita para tetua desa, jalan tersebut dibuat pada zaman Jepang menjajah Indonesia lebih dari setengah abad yang lalu.  Dengan memanfaatkan rakyat setempat, ‘Jalan Dai Nipon’  dibuat oleh Jepang dengan cara ‘Kerja Paksa’, atau biasa juga disebut dengan ‘Kerja Rodi’. Tanpa diberi upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi danpa diberi upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi ketika itu dipaksa oleh bangsa Jepang untuk membuat ‘Jalan Dai Nipon’ yang membentang cukup panjang di pertengahan antara Desa Betung, Desa Ketiau, Desa Kasih Raja, Desa Embacang, dan Desa Lubuk Keliat, dengan lebar sekitar 8 meter.
     Menurut cerita, ‘Jalan Dai Nipon’ dibuat untuk mempermudah aktivitas penjajah Jepang, baik itu untuk membawa Suplai Senjata, Area Latihan Perang, Parade Militer, Patrol, dan lain sebagainya. Pada saat itu, tidak sedikit kaum pribumi yang direkrut oleh Jepang untuk dilatih ‘Perang’, dengan semboyan ‘Jepang Cahaya Asia’. Dan sekarang, setelah bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, setelah sekian lama Indonesia Meredeka dan terlepas dari cengkaraman penjajah, terakhir dari bangsa Jepang, warga Ogan Komering Ilir/Ogan Ilir pada umumnya, khusus warga di Kecamatan Lubuk Keliat terutama mereka para generasi tua yang tersisa, masih menyebut jalan itu dengan sebutan ‘Jalan Dai Nipon/Jalan Jepang’.
      Sebagaimana keberadaannya, ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ hingga sekarang masih menjadi akses sarana transportasi masyarakat setempat, terutama yang memiliki lahan kebun atau ladang yang berada di sisi kiri-kanan jalan, termasuk warga masyarakat desa sekitar yang berdekatan dengan jalan tersebut. Selain berjalan kaki bagi warga yang akan ke kebun atau ke ladang, tidak sedikit warga yang melintas di ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang menggunakan sepeda motor, bahkan sesekali terutama pada musim panas ada yang menggunakan mobil truk khususnya mereka yang akan mengeluarkan hasil perkebunan atau pertaniannya. Hanya sayangnya, lebar jalan tersebut saat ini selain semakin hari semakin mengecil, di sisi kiri-kanan jalan juga sudah dipenuhi dengan beraneka ragam pepohanan baik yang tumbuh liar maupun yang sengaja ditanam oleh warga dengan ala an ‘Memanfaatkan’ lahan.
     Beberapa tahun lalu, pernah perangkat Desa, Kecamatan dan BPD (Badan Perwakilan Desa) mengadakan rembug desa. dengan berdialog dan bermusyawarah prihal nasib ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepan’ itu, termasuk berkoordinasi dengan persusahaan yang lokasi usahanya berdekatan, dalam hal ini adalah PTPN VII Nusantara Unit Usaha Cinta Manis. Alhasil, dari ide, gagasan, kritik dan saran yang berkembang di dalam rembug desa, pada sekitar tahun 2008 ditindaklanjuti dengan melakukan renovasi dan rehab terhadap ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ oleh aparat pemerintahan dengan mendapat dukungan dari PTPN VII Cita Mani yang ketika itu bersedia membantu Alat Berat termasuk Operator dan penyediaan Bahan Bakar. Dalam rembug desa juga disepakati bersama tentang pergantian nama jalan, dari ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ diganti dengan nama ‘Jalan Padat Karya’.
     Namun mirisnya, pada saat pelaksanaan ketika itu  masih ada warga atau Aparat Desa yang kurang Merespon, terkesan tidak Antusias, tidak mau Berpartisipasi, bahkan ada diantaranya yang pesimis dan menentang atau mencemooh dengan kata-kata yang menyakitkan dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Ironisnya lagi, ada juga yang ‘Mengancam’ akan ‘Menuntut’ apabila dalam merehab ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang kemudian diubah menjadi ‘Jalan Padat Karya’ ada (alat berat) yang mengenai atau menyerempet Tanam Tumbuh mereka. Hanya saja Alhamdulillah, dengan berbagai kendala yang dihadapi ketika itu, penggelederan dan pembuatan siring pada sisi kiri-kanan jalan dilakukan selebar 4 meter, dengan panjang sekitar dua kilometer.

     Setelah itu, ‘Jalan Padat Karya’ tidak pernah lagi tersentuh pembangunan. ‘Jalan Padat Karya’ tak pernah digubris dan dibiarkan amburadul. Akibatnya, kendatipun sudah berganti nama dengan nama ‘Jalan Padat Karya’ namun keadaanya tetap seperti keadaan ketika masih bernama ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’. Terakhir, pada sekitar tahun 2013, pernah ada kucuran dana PNPM yang direalisasikan sebatas untuk pembuatan/pemasangan Batu Bata siring di sisi kiri-kanan jalan sepanjang 100 meter. Dan sekarang, kendatipun bisa dikatakan menjadi semacam kebutuhan mendasar sebagai akses transportasi vital bagi warga setempat, jalan yang berganti nama menjadi ‘Jalan Padat Karya’ itu kondisinya masih seperti dulu, ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang  Malang, Nasibmu Kini…..(Herly Mustofa).    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar