HaLILINTaR News.com
SETELAH sebelumnya dijajah Inggris, tidak kurang dari sekitar 350
tahun Indonesia kembali dijajah oleh bangsa dari negeri ‘Kincir Angin’,
Belanda. Setelah itu, bangsa ini pernah juga dijajah olah bangsa dari negara
‘MataHari Terbit’, Jepang. Orang-orang
tua kita menyebutnya dengan’Dai Nipon’. Walau hanya dijajah sekitar 3,5 tahun,
atau biasa disebut juga hanya ‘Seumur Jagung’, menurut kisah, saat dijajah
Jepang penderitaan yang dirasakan oleh bangsa ini terasa jauh lebih pedih dan
sengsara.
Dibalik itu semua, di Kecamatan Lubuk
Keliat, atau lebih tepatnya di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten
Ogan Ilir, selain ada buah-buahan yang disebut dengan ‘Nangka Belanda’, juga
ada sebuah ruas jalan desa yang disebut dengan ‘Jalan Dai Nipon’. Menurut cerita para tetua desa, jalan tersebut
dibuat pada zaman Jepang menjajah Indonesia lebih dari setengah abad yang
lalu. Dengan memanfaatkan rakyat
setempat, ‘Jalan Dai Nipon’ dibuat oleh
Jepang dengan cara ‘Kerja Paksa’, atau biasa juga disebut dengan ‘Kerja Rodi’.
Tanpa diberi upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi danpa diberi
upah, bahkan tanpa diberi makana, rakyat pribumi ketika itu dipaksa oleh bangsa
Jepang untuk membuat ‘Jalan Dai Nipon’ yang membentang cukup panjang di
pertengahan antara Desa Betung, Desa Ketiau, Desa Kasih Raja, Desa Embacang,
dan Desa Lubuk Keliat, dengan lebar sekitar 8 meter.
Menurut cerita, ‘Jalan Dai Nipon’ dibuat
untuk mempermudah aktivitas penjajah Jepang, baik itu untuk membawa Suplai
Senjata, Area Latihan Perang, Parade Militer, Patrol, dan lain sebagainya. Pada
saat itu, tidak sedikit kaum pribumi yang direkrut oleh Jepang untuk dilatih
‘Perang’, dengan semboyan ‘Jepang Cahaya Asia’. Dan sekarang, setelah bangsa
Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, setelah sekian
lama Indonesia Meredeka dan terlepas dari cengkaraman penjajah, terakhir dari
bangsa Jepang, warga Ogan Komering Ilir/Ogan Ilir pada umumnya, khusus warga di
Kecamatan Lubuk Keliat terutama mereka para generasi tua yang tersisa, masih
menyebut jalan itu dengan sebutan ‘Jalan Dai Nipon/Jalan Jepang’.
Sebagaimana keberadaannya, ‘Jalan Dai
Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ hingga sekarang masih menjadi akses sarana
transportasi masyarakat setempat, terutama yang memiliki lahan kebun atau
ladang yang berada di sisi kiri-kanan jalan, termasuk warga masyarakat desa
sekitar yang berdekatan dengan jalan tersebut. Selain berjalan kaki bagi warga
yang akan ke kebun atau ke ladang, tidak sedikit warga yang melintas di ‘Jalan
Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang menggunakan sepeda motor, bahkan sesekali terutama
pada musim panas ada yang menggunakan mobil truk khususnya mereka yang akan
mengeluarkan hasil perkebunan atau pertaniannya. Hanya sayangnya, lebar jalan
tersebut saat ini selain semakin hari semakin mengecil, di sisi kiri-kanan
jalan juga sudah dipenuhi dengan beraneka ragam pepohanan baik yang tumbuh liar
maupun yang sengaja ditanam oleh warga dengan ala an ‘Memanfaatkan’ lahan.
Beberapa tahun lalu, pernah perangkat
Desa, Kecamatan dan BPD (Badan Perwakilan Desa) mengadakan rembug desa. dengan
berdialog dan bermusyawarah prihal nasib ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepan’
itu, termasuk berkoordinasi dengan persusahaan yang lokasi usahanya berdekatan,
dalam hal ini adalah PTPN VII Nusantara Unit Usaha Cinta Manis. Alhasil, dari
ide, gagasan, kritik dan saran yang berkembang di dalam rembug desa, pada
sekitar tahun 2008 ditindaklanjuti dengan melakukan renovasi dan rehab terhadap
‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ oleh aparat pemerintahan dengan mendapat
dukungan dari PTPN VII Cita Mani yang ketika itu bersedia membantu Alat Berat
termasuk Operator dan penyediaan Bahan Bakar. Dalam rembug desa juga disepakati
bersama tentang pergantian nama jalan, dari ‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan
Jepang’ diganti dengan nama ‘Jalan Padat Karya’.
Namun mirisnya, pada saat pelaksanaan
ketika itu masih ada warga atau Aparat
Desa yang kurang Merespon, terkesan tidak Antusias, tidak mau Berpartisipasi,
bahkan ada diantaranya yang pesimis dan menentang atau mencemooh dengan kata-kata
yang menyakitkan dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Ironisnya lagi, ada
juga yang ‘Mengancam’ akan ‘Menuntut’ apabila dalam merehab ‘Jalan Dai Nipon’
atau ‘Jalan Jepang’ yang kemudian diubah menjadi ‘Jalan Padat Karya’ ada (alat
berat) yang mengenai atau menyerempet Tanam Tumbuh mereka. Hanya saja
Alhamdulillah, dengan berbagai kendala yang dihadapi ketika itu, penggelederan
dan pembuatan siring pada sisi kiri-kanan jalan dilakukan selebar 4 meter,
dengan panjang sekitar dua kilometer.
Setelah itu, ‘Jalan Padat Karya’ tidak pernah
lagi tersentuh pembangunan. ‘Jalan Padat Karya’ tak pernah digubris dan
dibiarkan amburadul. Akibatnya, kendatipun sudah berganti nama dengan nama
‘Jalan Padat Karya’ namun keadaanya tetap seperti keadaan ketika masih bernama
‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’. Terakhir, pada sekitar tahun 2013,
pernah ada kucuran dana PNPM yang direalisasikan sebatas untuk
pembuatan/pemasangan Batu Bata siring di sisi kiri-kanan jalan sepanjang 100
meter. Dan sekarang, kendatipun bisa dikatakan menjadi semacam kebutuhan
mendasar sebagai akses transportasi vital bagi warga setempat, jalan yang
berganti nama menjadi ‘Jalan Padat Karya’ itu kondisinya masih seperti dulu,
‘Jalan Dai Nipon’ atau ‘Jalan Jepang’ yang
Malang, Nasibmu Kini…..(Herly Mustofa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar