Tamak
Oleh chairuddin, mdk
Pada era Orda Baru (Orba) selama kurun
waktu sekitar 32 tahun Soehartto berkuasa, saat Kepala Daerah dipilih dan
ditentukan oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), hanya
orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi Kepala Daerah baik itu Gubernur, Bupati,
maupun Walikota. Ketika itu, kendatipun selain Golkar ada dua Partai Politik (Parpol)
peserta Pemilu (Pemilihan Umum) legislatif, yaitu PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), di luar Keluarga Besar
Golkar, tanpa restu Soeharto jangan pernah bermimpi bisa menduduki ‘Kursi’
empuk Kepala Daerah. Keluarga besar Golkar itu sendiri terdiri dari para elit
pengurus Golkar, TNI/Polri, dan para Pejabat di Eksekutif (pemerintahan) yang
dikatagorikan sebagai Sipil, dan yang tidak bisa diabaikan tentunya harus
memiliki garis kedekatan dengan sang penguasa, Soeharto.
Pilkada (Pemilhan Kepala Daerah) langsung pertama oleh rakyat pada 2005,
adalah, merupakan ‘Pintu Gerbang’ di era
Reformasi bagi masyarakat negeri ini untuk menjadi pemimpin di daerah, baik itu
Gubernur, Bupati, maupun Walikota, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.. Sejak saat itu, bermunculan
figur-figur tokoh daerah dari berbagai strata sosial maupun pendidikan yang
berani tampil mengadu untung di ‘Gelanggang’ Pilkada. Apalagi syarat formal pendidikan
untuk menjadi Kepala Daerah cukup dibuktikan dengan selembar Izasah SLTA
(Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau sederajat, yang bahkan terkadang ada yang
palsu atau sengaja memang dipalsukan. Menariknya, khusus unrtuk mereka siapapun
dia yang ternyata terindikasi menggunakan Izasah paslu atau dipalsukan, terutama
jika si Calon sudah terpilih menjadi Kepala Daerah, meski kasusnya sudah masuk
ke ranah hukum bahkan sempat menimbulkan semacam gejolak di masyarakat, namun
prosesnya tidak pernah ‘Berujung’.
Persyaratan lain, untuk bisa maju di
‘Arena’ Pilkada langsung tentunya adalah memiliki ‘Mental’ baja, mereka adalah
figur yang berani menyatakan Mau (Bersedia), Sanggup dan Bisa. Mau (Bersedia)
dicalonkan oleh Parpol pengusung. Sanggup menjadi Kepala Daerah (Karena merasa
bisa), dan Bisa (Karena merasa meimilik modal politik yang cukup). Ironisnya,
begitu mendengar pernyataan Mau, Sanggup dan Bisa, Parpol pengusung yang
menjadi penentu seseorang bisa maju atau
tidak di Pilkada, justru hanya menganggukkan Kepala sambil mengatakan, Oke,
deh. Faktanya, selama ini Parpol pengusung tidak pernah melihat dan atau
meneliti si Calon yang akan diusungnya itu ‘Layak’ atau tidak menjadi Kepala
Daerah secara terbuka dengan melibatkan masayarakat. Untuk mencari pembenaran,
biasanya Parpol pengusung (Akhir-akhir ini) hanya berlindung di balik Hasil Polling,
dimana konstituennya adalah mereka masyarakat kebanyakan. Padahal, untuk mencapai
suatu kesimpulan bahwa seseorang itu ‘Layak’ atau ‘Tidak Layak’ menjadi Kepala
Daerah, karena kemudian akan memimpin suatu daerah dengan berbagai
permasalahnya yang kompleks, tentunya
paling tidak perlu dibahas dan atau dibicarakan dalam suatu diskusi atau
seminar dengan melibatkan para ahli berkompeten dari berbagai disiplinj ilmu.
Dampaknya, suka atau suka, mau atau tidak mau, masyarakat pemilih terpaksa,
atau lebih tepatnya dipaksa untuk memilih dan menentukan Kepala Daerah (hanya)
yang disodorkan oleh Parpol pengusung, walau terkadang tidak sesuai dengan
pilihan hati nuraninya.
Sebagaimana diketahui, sejak ‘Keran’
reformasi secara hakiki dibuka di negeri tercinta ini, dimana salah satu wujud
reformasi adalah para Kepala Daerah ditentukan oleh rakyat lewat Pilkada
langsung, untuk ukuran selevel menjadi Kepala Daerah animo rakyat yang akan
mengadu peruntungan di Pesta Demorasi lima tahun itu cukup ‘Membludak’.
Terbukti, dari hampir 300 daerah di seluruh Indonesia yang akan menggelar
Pilkada langsung serentak tahun 2015, terakhir diketahui hanya beberapa daerah
saja yang diikui oleh satu Pasangan Calon, atau dikenal dengan Calon Tunggal.
Dan fakta tersebut bukan karena di daerah itu tidak ada peminat yang mau
menjadi Kelapa Daerah, tetapi konon, kabarnya, semmata-mata hanya adanya faktor
eks. Misalnya, majunya kembali Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di Pilkada
langsung serentak 9 Desember 2015 mendatang, yang menurut asumsi banyak orang
tidak mungkin terkalahkan. Ada juga
akibat adanya semacam ‘Trick’ politik di daerah tertentu, dimana sesuai dengan
fakta jika daerah tersebut sebenarnya memiliki jumlah anggota DPRD yang minimal
bisa mengusung 5 atau 6 pasangan calon, tetapi kenyataannya hanya ada 2 pasangan
Calon. Penyebabnya, untuk mengurangi jumlah lawan yang akan dihadapinya di
gelanggang Pilkada bisa saja karena Parpol pengusung sudah habis ‘Diborong’
oleh Calon tertentu, atau bisa juga sejumlah Parpol pengusung sudah sepakat memenangkan
seseorang menjadi Kepala Daerah. Untuk bisa membuktikan trick-trick semacam itu,
tentunya kita hanya bisa bertanya kepada ‘Rumput yang Bergoyang’.
Hingga saat ini, memang belum ada hasil
survey resmi yang menyebutkan, jika jabatan Kepala Daerah, baik itu Gubernur,
Bupati, atau Walikota, adalah jabatan yang sangat sayang untuk di lepaskan.
Yang pasti, sebagaimana fakta yang pernah dilansir Kementrian Dalam Negeri
(Kemendagri) beberapa waktu lalu, ada ratusan Kepala Daerah dan atau Wakil
Kepala Daerah ‘Produk’ Pilkada langsung yang tersangkut hukum, khususnya
korupsi. Di lain pihak, fakta di lapangan terungkap, jika seseorang yang
sebelumnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tanpa berniat berprasangka
negatif, seusai melaksanakan pengabdiannya kepada Negeri Pertiwi tercinta ini
sebagai Kepala Daerah, ternyata secara ekonomi bisa memilik segalanya sementara
secara sosial merasa jika pamor Harkat, Martabat dan Derajat dimata masyarakat
semakin terpandang. Kenyataan tersebut, kalau boleh meminjam istilah yang
sering dicapkan oleh Sutan Batughan, anggota DPR RI dari Partai Demokrat yang
saat ini terseret hukum kasus korupsi, bahwa jabatan Kepala Daerah bisa kita katagirikan
sebagai jabatan ‘Ngeri-Ngeri Sedap’.
Maknanya, meski banyak mengandung resiko,
tetapi jabatan Kepala Daerah merupakan jabatan yang menjanjikan untuk merubah
kehidupan seseorang dan keluarga, termasuk sekelompok orang yang ada disekitarnya menjadi
lebih Wah !!!?. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian jabatan
Kepala Daerah membuat orang yang sudah pernah menikmatinya menjadi Tamak. Tidak
pernah ada fakta yang menyebutkan, seorang Kepala Daerah yang ketika masa
baktinya sudah berakhir tidak mencalonkan diri kembali di Pilkada berikutnya.
Bahkan ketamakan itu terkadang dipertontonkan oleh seseorang mantan Kepala
Daerah, yang karena aturan setelah dua kali berturut menjadi Kepala Daerah di
daerah yang sama tidak bisa lagi maju sebagai Calon, karena ketamakannya tanpa
ada rasa malu nekat maju sebagai Calon Kepala Daerah di daerah lain. Ketamakan terhadap
jabatan Kepala Daerah juga tidak jarang dipertontonkan lewat Dinasti, dengan
mendorong keluarganya baik itu Istri, Anak, Menantu, Keponakan, Sepupu, atau
hubungan kekeluargaan seperti apalah itu, untuk maju sebagai Calon Kepala
Daerah di Pilkada. Maka sekali lagi, tidaklah mengherankan jika kemudian ada
yang menyebutkan, jika Jabatan Kepala Daerah bisa diindentikan dengan Ketamakan,
alias Tamak.**** (Penulis adalah Pemimpin Redaksi Halilintar Online.