Jumat, 25 September 2015

Tamak

Tamak
Oleh chairuddin, mdk

      Pada era Orda Baru (Orba) selama kurun waktu sekitar 32 tahun Soehartto berkuasa, saat Kepala Daerah dipilih dan ditentukan oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi Kepala Daerah baik itu Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Ketika itu, kendatipun selain Golkar ada dua Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu (Pemilihan Umum) legislatif, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), di luar Keluarga Besar Golkar, tanpa restu Soeharto jangan pernah bermimpi bisa menduduki ‘Kursi’ empuk Kepala Daerah. Keluarga besar Golkar itu sendiri terdiri dari para elit pengurus Golkar, TNI/Polri, dan para Pejabat di Eksekutif (pemerintahan) yang dikatagorikan sebagai Sipil, dan yang tidak bisa diabaikan tentunya harus memiliki garis kedekatan dengan sang penguasa, Soeharto.
    Pilkada (Pemilhan Kepala Daerah) langsung pertama oleh rakyat pada 2005, adalah, merupakan ‘Pintu Gerbang’  di era Reformasi bagi masyarakat negeri ini untuk menjadi pemimpin di daerah, baik itu Gubernur, Bupati, maupun Walikota, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.. Sejak saat itu, bermunculan figur-figur tokoh daerah dari berbagai strata sosial maupun pendidikan yang berani tampil mengadu untung di ‘Gelanggang’ Pilkada. Apalagi syarat formal pendidikan untuk menjadi Kepala Daerah cukup dibuktikan dengan selembar Izasah SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau sederajat, yang bahkan terkadang ada yang palsu atau sengaja memang dipalsukan. Menariknya, khusus unrtuk mereka siapapun dia yang ternyata terindikasi menggunakan Izasah paslu atau dipalsukan, terutama jika si Calon sudah terpilih menjadi Kepala Daerah, meski kasusnya sudah masuk ke ranah hukum bahkan sempat menimbulkan semacam gejolak di masyarakat, namun prosesnya tidak pernah ‘Berujung’.
      Persyaratan lain, untuk bisa maju di ‘Arena’ Pilkada langsung tentunya adalah memiliki ‘Mental’ baja, mereka adalah figur yang berani menyatakan Mau (Bersedia), Sanggup dan Bisa. Mau (Bersedia) dicalonkan oleh Parpol pengusung. Sanggup menjadi Kepala Daerah (Karena merasa bisa), dan Bisa (Karena merasa meimilik modal politik yang cukup). Ironisnya, begitu mendengar pernyataan Mau, Sanggup dan Bisa, Parpol pengusung yang menjadi penentu seseorang  bisa maju atau tidak di Pilkada, justru hanya menganggukkan Kepala sambil mengatakan, Oke, deh. Faktanya, selama ini Parpol pengusung tidak pernah melihat dan atau meneliti si Calon yang akan diusungnya itu ‘Layak’ atau tidak menjadi Kepala Daerah secara terbuka dengan melibatkan masayarakat. Untuk mencari pembenaran, biasanya Parpol pengusung (Akhir-akhir ini) hanya berlindung di balik Hasil Polling, dimana konstituennya adalah mereka masyarakat kebanyakan. Padahal, untuk mencapai suatu kesimpulan bahwa seseorang itu ‘Layak’ atau ‘Tidak Layak’ menjadi Kepala Daerah, karena kemudian akan memimpin suatu daerah dengan berbagai permasalahnya yang kompleks,  tentunya paling tidak perlu dibahas dan atau dibicarakan dalam suatu diskusi atau seminar dengan melibatkan para ahli berkompeten dari berbagai disiplinj ilmu. Dampaknya, suka atau suka, mau atau tidak mau, masyarakat pemilih terpaksa, atau lebih tepatnya dipaksa untuk memilih dan menentukan Kepala Daerah (hanya) yang disodorkan oleh Parpol pengusung, walau terkadang tidak sesuai dengan pilihan hati nuraninya.
      Sebagaimana diketahui, sejak ‘Keran’ reformasi secara hakiki dibuka di negeri tercinta ini, dimana salah satu wujud reformasi adalah para Kepala Daerah ditentukan oleh rakyat lewat Pilkada langsung, untuk ukuran selevel menjadi Kepala Daerah animo rakyat yang akan mengadu peruntungan di Pesta Demorasi lima tahun itu cukup ‘Membludak’. Terbukti, dari hampir 300 daerah di seluruh Indonesia yang akan menggelar Pilkada langsung serentak tahun 2015, terakhir diketahui hanya beberapa daerah saja yang diikui oleh satu Pasangan Calon, atau dikenal dengan Calon Tunggal. Dan fakta tersebut bukan karena di daerah itu tidak ada peminat yang mau menjadi Kelapa Daerah, tetapi konon, kabarnya, semmata-mata hanya adanya faktor eks. Misalnya, majunya kembali Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015 mendatang, yang menurut asumsi banyak orang tidak mungkin terkalahkan.  Ada juga akibat adanya semacam ‘Trick’ politik di daerah tertentu, dimana sesuai dengan fakta jika daerah tersebut sebenarnya memiliki jumlah anggota DPRD yang minimal bisa mengusung 5 atau 6 pasangan calon, tetapi kenyataannya hanya ada 2 pasangan Calon. Penyebabnya, untuk mengurangi jumlah lawan yang akan dihadapinya di gelanggang Pilkada bisa saja karena Parpol pengusung sudah habis ‘Diborong’ oleh Calon tertentu, atau bisa juga sejumlah Parpol pengusung sudah sepakat memenangkan seseorang menjadi Kepala Daerah. Untuk bisa membuktikan trick-trick semacam itu, tentunya kita hanya bisa bertanya kepada ‘Rumput yang Bergoyang’.
      Hingga saat ini, memang belum ada hasil survey resmi yang menyebutkan, jika jabatan Kepala Daerah, baik itu Gubernur, Bupati, atau Walikota, adalah jabatan yang sangat sayang untuk di lepaskan. Yang pasti, sebagaimana fakta yang pernah dilansir Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) beberapa waktu lalu, ada ratusan Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah ‘Produk’ Pilkada langsung yang tersangkut hukum, khususnya korupsi. Di lain pihak, fakta di lapangan terungkap, jika seseorang yang sebelumnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tanpa berniat berprasangka negatif, seusai melaksanakan pengabdiannya kepada Negeri Pertiwi tercinta ini sebagai Kepala Daerah, ternyata secara ekonomi bisa memilik segalanya sementara secara sosial merasa jika pamor Harkat, Martabat dan Derajat dimata masyarakat semakin terpandang. Kenyataan tersebut, kalau boleh meminjam istilah yang sering dicapkan oleh Sutan Batughan, anggota DPR RI dari Partai Demokrat yang saat ini terseret hukum kasus korupsi, bahwa jabatan Kepala Daerah bisa kita katagirikan sebagai jabatan ‘Ngeri-Ngeri Sedap’.
       Maknanya, meski banyak mengandung resiko, tetapi jabatan Kepala Daerah merupakan jabatan yang menjanjikan untuk merubah kehidupan seseorang dan keluarga, termasuk  sekelompok orang yang ada disekitarnya menjadi lebih Wah !!!?. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian jabatan Kepala Daerah membuat orang yang sudah pernah menikmatinya menjadi Tamak. Tidak pernah ada fakta yang menyebutkan, seorang Kepala Daerah yang ketika masa baktinya sudah berakhir tidak mencalonkan diri kembali di Pilkada berikutnya. Bahkan ketamakan itu terkadang dipertontonkan oleh seseorang mantan Kepala Daerah, yang karena aturan setelah dua kali berturut menjadi Kepala Daerah di daerah yang sama tidak bisa lagi maju sebagai Calon, karena ketamakannya tanpa ada rasa malu nekat maju sebagai Calon Kepala Daerah di daerah lain. Ketamakan terhadap jabatan Kepala Daerah juga tidak jarang dipertontonkan lewat Dinasti, dengan mendorong keluarganya baik itu Istri, Anak, Menantu, Keponakan, Sepupu, atau hubungan kekeluargaan seperti apalah itu, untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah di Pilkada. Maka sekali lagi, tidaklah mengherankan jika kemudian ada yang menyebutkan, jika Jabatan Kepala Daerah bisa diindentikan dengan Ketamakan, alias Tamak.**** (Penulis adalah Pemimpin Redaksi Halilintar Online.           
   
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar